Berpuasa adalah salah satu cara untuk menjaga kesehatan tubuh. Nah, ternyata puasa juga bisa menurunkan risiko penyakit saraf yang membahayakan. Kerusakan atau gangguan pada saraf (neuropati) sering menyerang orang yang berusia di atas 50 tahun, terutama bagi mereka yang menderita penyakit diabetes melitus. Tak hanya usia tua, gangguan saraf ini ternyata juga bisa terjadi pada orang-orang yang berusia lebih muda.
Penyakit saraf yang sering dialami yaitu saraf kejepit, stroke, multiple sclerosis, meningitis, ataupun bell’s palsy. Ketika Anda mengalami gangguan tersebut, biasanya akan muncul rasa nyeri tajam seperti tertusuk, terbakar, kebas atau mati rasa dan kesemutan yang berlangsung lama dan intens. Bahkan, pada kasus tertentu Anda mungkin akan merasakan kelemahan otot di bagian tubuh yang terkena gangguan saraf.
Daftar isi
Apakah Puasa Dapat Menurunkan Risiko Penyakit Saraf?
Mengutip laman Kompas.com, saat berpuasa tubuh kita melakukan proses detoksifikasi dan pengalihan sumber energi dari glukosa menjadi penggunaan lemak. Proses tersebut berperan penting dalam mencegah kerusakan saraf. Sebagaimana yang Anda ketahui, hasil metabolisme dari glukosa memiliki efek buruk terhadap kesehatan saraf dan otot. Sel saraf tidak mudah beregenerasi, sehingga jika terjadi kerusakan saraf maka akan membutuhkan proses perbaikan dalam jangka waktu lama bahkan bisa sampai bertahun-tahun.
Pada seseorang yang sedang menderita gangguan saraf, berpuasa juga dapat membantu mempercepat pemulihan penyakitnya. Puasa dipercaya dapat menurunkan senyawa oksidatif pada sel yang dapat memperburuk penyakit saraf.
Baca juga: HNP Adalah Penyakit Saraf Terjepit Apa Penyebabnya?
Bagaimana Cara Mencegah Kerusakan Saraf?
Berbagai cara dapat Anda lakukan untuk mencegah perburukan kondisi atau menurunkan risiko penyakit saraf, seperti:
- Menerapkan pola makan bergizi seimbang, khususnya perbanyak asupan vitamin B
- Jika vitamin dari asupan makanan belum mencukupi, cobalah konsumsi suplemen neurotopik sesuai anjuran dokter
- Rutin berolahraga
- Menjaga berat badan ideal
- Tidur cukup dan hindari aktivitas berlebihan
Cara Mengetahui Penyakit Saraf
Untuk mendapatkan diagnosis yang akurat, Anda bisa berkonsultasi dengan dokter spesialis saraf di Lamina Pain and Spine Center. Sebagai tahap awal, dokter akan melakukan anamnesis atau tanya jawab seputar riwayat penyakit dan gejala yang Anda rasakan. Selanjutnya pemeriksaan fisik dan penunjang juga diperlukan, seperti Rontgen, CT-Scan atau MRI guna menegakkan diagnosis.
Setelah hasil pemeriksaan, dokter akan menentukan penanganan lebih lanjut terhadap kondisi kesehatan Anda. Apabila ternyata menderita saraf kejepit, maka dokter akan merujuk ke dokter spesialis bedah saraf di Lamina. Di Lamina, metode pengobatan yang digunakan merupakan prosedur minimal invasif tanpa operasi yang tentunya lebih aman dan minim risiko.
Untuk informasi lebih lanjut, silakan hubungi Assistance Center kami di nomor 021-7919-6999 atau chat kami melaui nomor whatsapp di 0811 1443 599.
Selamat berpuasa dan semoga sehat selalu!
Referensi:
Rumah Sakit Akademik Universitas Gajah Mada. Puasa Menurunkan Risiko Penyakit Saraf.
https://rsa.ugm.ac.id/id/2015/07/puasa-menurunkan-risiko-penyakit-saraf/
Kompas.com. Puasa Cegah Kerusakan Saraf.
https://health.kompas.com/read/2013/07/17/1001286/Puasa.Cegah.Kerusakan.Saraf
Frequently Asked Questions (FAQ)
Apakah Puasa Dapat Menurunkan Risiko Penyakit Saraf?
Pada seseorang yang sedang menderita gangguan saraf, berpuasa juga dapat membantu mempercepat pemulihan penyakitnya. Puasa dipercaya dapat menurunkan senyawa oksidatif pada sel yang dapat memperburuk penyakit saraf.
Bagaimana Cara Mencegah Kerusakan Saraf?
- Menerapkan pola makan bergizi seimbang, khususnya perbanyak asupan vitamin B
- Jika vitamin dari asupan makanan belum mencukupi, cobalah konsumsi suplemen neurotopik sesuai anjuran dokter
- Rutin berolahraga
- Menjaga berat badan ideal
- Tidur cukup dan hindari aktivitas berlebihan
Bagaimana Cara Memeriksa Penyakit Saraf?
Sebagai tahap awal, dokter akan melakukan anamnesis atau tanya jawab seputar riwayat penyakit dan gejala yang Anda rasakan. Selanjutnya pemeriksaan fisik dan penunjang juga diperlukan, seperti Rontgen, CT-Scan atau MRI guna menegakkan diagnosis.